Jakarta – Tokoh reformis Iran Masoud Pezeshkian memenangi Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Dibanding pemimpin-pemimpin Iran sebelumnya, Pezeshkian ini agak beda. Dia adalah politikus reformis yang mau memperbaiki hubungan dengan kubu negara-negara Barat.
Dilansir AFP, Senin (7/7/2024), Pezeshkian memenangi Pilpres melawan tokoh ultrakonservatif Saeed Jalili. Kabar pilpres tersebut disampaikan kementerian dalam negeri Iran pada Sabtu (6/7) waktu setempat.
Juru bicara (Jubir) Uni Eropa Nabila Massrali mengucapkan selamat kepada Pezeshkian atas terpilihnya dia, dan menambahkan bahwa blok beranggotakan 27 negara itu “siap untuk terlibat dengan pemerintahan baru sejalan dengan kebijakan keterlibatan kritis Uni Eropa”.
Pezeshkian adalah seorang ahli bedah jantung berusia 69 tahun. Satu-satunya pengalaman pemerintahannya adalah menjadi menteri kesehatan sekitar dua dekade lalu.
Dia menyerukan “hubungan konstruktif” dengan negara-negara Barat untuk “mengeluarkan Iran dari isolasinya”. Dia mendukung menghidupkan kembali perjanjian nuklir tahun 2015 antara Iran dan negara-negara besar.
Washington secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut pada tahun 2018, menerapkan kembali sanksi dan menyebabkan Iran secara bertahap mengurangi komitmen terhadap perjanjian tersebut. Kesepakatan itu bertujuan untuk mengekang aktivitas nuklir, yang menurut Teheran bertujuan damai.
Musuh Iran, Amerika Serikat, pada Senin mengatakan tidak ada bedanya apakah Pezeshkian atau Jalili yang menang. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, mengatakan tidak ada harapan bahwa pemungutan suara tersebut akan “mengarah pada perubahan mendasar dalam arah Iran” atau peningkatan hak asasi manusia.
Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, mengatakan hasil Pilpres Iran tersebut merupakan “pesan yang jelas mengenai tuntutan perubahan dan pertentangan” dari rakyat Iran. Katz mendesak komunitas global untuk menunjuk Korps Garda Revolusi Islam sebagai organisasi teroris dan menuntut “pembatalan” program nuklir Iran.
Dalam Pilpres Iran, semua capres yang maju telah terlebih dahulu disetujui oleh Dewan Wali Iran, dan Pezeshkian adalah satu-satunya reformis yang diizinkan untuk mencalonkan diri.
Pakar politik Ali Vaez, dari lembaga pemikir International Crisis Group, mengatakan di X bahwa Pezeshkian akan menghadapi tantangan dalam menerapkan platformnya karena “berlanjutnya dominasi konservatif terhadap lembaga-lembaga negara lain dan batasan otoritas presiden”.
Pezeshkian berjanji untuk melonggarkan pembatasan internet yang sudah berlangsung lama dan “sepenuhnya” menentang patroli polisi yang mewajibkan jilbab bagi perempuan, sebuah isu penting sejak kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi pada tahun 2022.
Warga Kurdi Iran berusia 22 tahun itu telah ditahan karena dugaan pelanggaran aturan berpakaian, dan kematiannya memicu kerusuhan nasional selama berbulan-bulan.
Di Pilpres Iran, Pezeshkian meraup lebih dari 16 juta suara, sekitar 54 persen. Pesaingnya, Jalili, meraup lebih dari 13 juta, sekitar 44 persen dari sekitar 30 juta suara yang diberikan, kata juru bicara otoritas pemilu Mohsen Eslami. Jumlah pemilih yang berpartisipasi mencapai 49,8 persen, tambah Eslami, naik dari rekor terendah sekitar 40 persen pada putaran pertama.
“Saya tidak memberikan janji palsu dalam pemilu ini,” kata Pezeshkian di makam Imam Khomeini di Tehran selatan.