JAKARTA, arabaru.com- Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki mengingatkan bahwa hasil-hasil bumi seperti tambang, perkebunan, pertanian, hingga komoditas kelautan, tidak boleh lagi diekspor dalam bentuk bahan mentah, termasuk rempah, melainkan harus melalui proses hilirisasi.
“Harus kita olah, harus kita hilirisasi, supaya kita mendapat nilai tambah ekonomi dari sumber daya kita, termasuk juga di dalamnya bisa menciptakan lapangan kerja,” kata Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki pada acara Forum Diskusi dan Temu Bisnis Penguatan Ekonomi Berbasis Rempah Menuju Kejayaan Nusantara (Rantai Pasok, Rantai Nilai, dan Perlogistikan Rempah) di Kota Bogor, Sabtu (12/10).
Menurut Menteri Teten, kalau menjual hanya bahan mentahnya saja, tidak akan bisa menciptakan nilai ekonomi tinggi. “Kita bicara itu dalam konteks menuju negara maju, yang diprediksi pada 2045 itu memiliki potensi besar bertransformasi dari negara berpendapatan menengah ke tinggi,” kata MenKopUKM.
Untuk mencapai minimum pendapatan perkapita 13.200 dolar AS sebagai negara maju, MenKopUKM menyebut Indonesia harus membangun industri yang berkelanjutan, yang mengolah bahan baku yang ada di Indonesia. Hari ini, Indonesia baru mencapai 5000 dolar AS perkapita.
Pada era 1980-an, kata MenKopUKM, banyak masuk industri manufaktur dari luar, namun menjadi sunset industry karena bahan baku tidak ada di Indonesia. “Kita tidak akan mengulang pengalaman itu. Kita harus membangun industri berbasis keunggulan domestik. Salah satunya, bahan baku kita punya seperti nikel, bauksit, rumput laut, dan juga rempah,” kata Menteri Teten.
Khusus rempah, Menteri Teten mencontohkan bisa dihilirisasi di industri bumbu, selain juga bisa diolah untuk masuk rantai pasok bagian industri farmasi, makanan-minuman, dan industri kecantikan. “Kita harus samakan visi semua pihak untuk merancang bangun desain program mengarah ke hilirisasi rempah,” kata MenKopUKM.
Bagi Menteri Teten, teknologi untuk melakukan itu tidaklah sulit. “Kita sudah membangun pabrik-pabrik kecil, lalu mengolah sumber daya yang kita miliki menjadi produ ksetengah jadi atau jadi,” ujar MenKopUKM.
MenKopUKM mencontohkan komoditas nilam yang diolah menjadi minyak atsiri dengan standar industri. “Sekarang minyak nilam dari Aceh sudah bisa langsung dikirim ke Paris untuk bahan baku industri wewangian. Industri parfum dunia, kebutuhan nilamnya 80 persen yang dipasok dari Indonesia,” kata Menteri Teten.
Selain nilam, juga sudah ada hilirisasi komoditas cabai yang diolah menjadi pasta, sehingga memiliki rantai nilai ekonomi yang lebih panjang. Begitu juga dengan cokelat yang juga sudah ada pabrik pengolahannya.
“Rempah bisa dikembangkan dan diolah menjadi bumbu untuk masuk ke pasar dunia. Makanan Indonesia masih tertinggal bila dibanding Thailand dan Vietnam. Mereka jauh dikenal masyarakat dunia,” kata Menteri Teten.
MenKopUKM mengakui, saat ini industri rempah-rempah Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan serius. Di antaranya, ketidakstabilan harga, kurangnya infrastruktur pendukung, permasalahan akses pasar, serta pengelolaan lingkungan yang kurang memperhatikan prinsip keberlanjutan.
“Rantai suplai yang belum terintegrasi dengan baik membuat banyak petani rempah berada dalam situasi ekonomi yang sulit. Sementara produk kita sering kali belum mencapai potensi nilai yang optimal di pasar global,” kata Menteri Teten.
Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Dr. Ali menambahkan, pernah ada sebuah lembaga melakukan studi yang menyebutkan bahwa dari hulu ke hilir potensi ekonomi rempah Indonesia minimal Rp3.000 triliun pertahun, namun selama ini tidak terkonsolidasi dan terekam dengan baik.
“Ada BUMN asal Tiongkok yang sudah bermain rempah di Indonesia selama 35 tahun melalui jalur yang tidak terekam secara formal. Maka, kita akan memetakan satu persatu, membuat satu ekosistem bisnis yang menjadikan koperasi dan UMKM sebagai tulang punggungnya,” kata Ali.
Ali menyebutkan, strategi dari hulu ke hilir akan disambungkan satu sama lain atau terkoneksi antara para petani di skala mikro dan kecil dengan industri sebagai offtaker di skala menangah dan besar. Koneksi ini akan menumbuhkembangkan ekosistem bisnis rempah sehingga dapat menjamin bahwa bisnis rempah nusantara menjadi bisnis yang sustain dari sisi bahan baku, proses industri, hingga pasar. “Semua terkoneksi, sampai pada akhirnya mengarah ke kata kunci yaitu hilirisasi,” ujar Ali.
Ali mengungkapkan para pelaku usaha dan asosiasi rempah akan menginisiasi agar ke depan Indonesia memiliki lembaga atau badan khusus yang menangani industri rempah nusantara. “Ini untuk mencapai kejayaan rempah nusantara,” ucap Ali.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Rempah Kejayaan Indonesia (DRKI) Dr Tjokorda Ngurah Agung Kusuma Yudha mengungkapkan hasil survei yang menyebutkan bahwa total perdagangan rempah dunia hampir mencapai 42 miliar dolar AS per tahun.
Namun, kata Tjokorda, 80 persen perdagangan rempah dunia dikuasai oleh China. Padahal, dari sisi produk dan industri rempah, Indonesia jauh lebih banyak. “Mayoritas milik kita, tapi diperdagangkan di Provinsi Yulin, China,” kata Tjokorda.
Oleh karena itu, Tjokorda berharap proses hilirisasi di industri rempah nasional bisa berjalan, seperti yang terjadi di hilirisasi sektor tambang. “Sekarang ini, ekspor rempah kita masih barang mentah, dan itu sendiri-sendiri atau negara terlibat di dalamnya. Pelaku usahanya melakukan jual beli sendiri, dan kita tidak pernah mendapat nilai tambah dari rempah ini,” kata Tjokorda.