arabaru.com– Krisis iklim semakin terasa di berbagai belahan dunia. Perubahan cuaca yang tidak terduga—hujan dan panas yang tidak sesuai jadwal—membuat para petani kesulitan menentukan waktu tanam yang tepat. Kondisi ini juga berdampak pada kesehatan manusia yang mudah terserang penyakit akibat perubahan iklim yang tidak menentu. Meski tanda-tanda alam ini sudah dirasakan banyak orang, masih banyak yang belum menyadari cara terbaik untuk mencegah atau mengurangi dampak dari perubahan iklim ini. Beberapa orang bahkan percaya bahwa perubahan iklim adalah fenomena alamiah yang tidak disebabkan oleh ulah manusia dan tidak bisa dicegah.
Pandangan tersebut juga disuarakan dalam video YouTube CapitalClubCuts pada 30 April 2023, di mana Luke Belmar menyebut perubahan iklim sebagai “hoax” yang diciptakan oleh lembaga-lembaga besar sebagai bentuk kontrol. Meski pandangan seperti ini cukup populer, ilmu pengetahuan dan bukti ilmiah menunjukkan sebaliknya: perubahan iklim adalah kenyataan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, dan dampaknya terhadap kehidupan kita semakin nyata.
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang Kodrat Manusia dan Pendidikan Iklim
Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, menjelaskan bahwa manusia memiliki dua kodrat: kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam mencakup cipta, rasa, dan karsa, sementara kodrat zaman dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya. Kedua konsep ini diyakini Dewantara mampu membawa peserta didik menuju keselamatan dan kebahagiaan. Sebagai makhluk individu, manusia berkolaborasi dengan lingkungannya melalui pemikiran, perasaan, dan kehendaknya.
Dalam konteks perubahan iklim, pemahaman ini menjadi penting. Kesadaran tentang alam dan perubahan iklim harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia telah merilis panduan pendidikan perubahan iklim untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan isu ini di kalangan siswa.
Panduan ini menjelaskan perubahan iklim sebagai perubahan jangka panjang pada suhu dan pola cuaca di Bumi, yang meskipun bisa terjadi secara alami, perubahan sejak abad ke-19 terutama disebabkan oleh aktivitas manusia. Aktivitas seperti pembakaran bahan bakar fosil, pembukaan hutan, dan industri telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang mempercepat pemanasan global.
Gas Rumah Kaca dan Dampaknya terhadap Krisis Iklim
Ada tiga gas rumah kaca utama yang dihasilkan dari aktivitas manusia:
- Karbon dioksida (CO2): Gas rumah kaca terbesar yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan pembukaan hutan.
- Metana (CH4): Dihasilkan dari produksi gas alam, minyak bumi, serta pembusukan sampah.
- Nitrogen oksida (N2O): Berasal dari pabrik, pembangkit listrik, pupuk, dan kebakaran hutan.
Gas-gas ini meningkatkan suhu Bumi, yang berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari pertanian hingga kesehatan manusia. Hutan dan ekosistem alami berperan penting dalam menyerap karbon dioksida, namun deforestasi yang terus berlangsung mengurangi kapasitas alami untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca.
Pendidikan Perubahan Iklim di Sekolah
Sekolah menjadi salah satu tempat yang paling efektif untuk menyosialisasikan pentingnya perubahan iklim. Dalam buku panduan pendidikan perubahan iklim, berbagai strategi telah dirancang agar sekolah dapat mengintegrasikan materi perubahan iklim ke dalam kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun kokurikuler. Semua elemen sekolah—dari kepala sekolah, guru, siswa, hingga penjaga kantin—dilibatkan untuk menjadikan sekolah sebagai agen budaya yang tangguh terhadap perubahan iklim.
Namun, untuk menjadikan program ini efektif, perlu ada sinergi yang lebih baik antara berbagai departemen pemerintah. Misalnya, program pendidikan perubahan iklim seharusnya berkolaborasi dengan program Adiwiyata dari Dinas Lingkungan Hidup, yang selama ini juga fokus pada pendidikan lingkungan. Kerjasama ini akan memperkuat upaya sekolah dalam menerapkan budaya peduli lingkungan yang berkelanjutan.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski ajakan untuk mencegah perubahan iklim di sekolah sangat baik dan menantang, upaya ini tidak akan berdampak maksimal jika masyarakat luas tidak turut menerapkan budaya peduli lingkungan. Sebagai contoh, banyak sekolah sudah mulai mengajarkan pemilahan sampah, tetapi sampah yang sudah dipilah sering kali disatukan kembali saat diangkut oleh truk sampah. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di sekolah perlu diimbangi dengan dukungan nyata dari masyarakat dan pemerintah.
Sekolah bukan hanya tempat sosialisasi program-program pemerintah, tetapi harus menjadi laboratorium tempat praktik-praktik baik diterapkan dan dipantau secara konsisten. Dengan demikian, budaya peduli lingkungan dan pencegahan krisis iklim bisa menjadi kebiasaan yang berdaya guna dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui kolaborasi antara sekolah, pemerintah, dan masyarakat, diharapkan krisis iklim dapat diatasi, dan generasi mendatang bisa hidup di dunia yang lebih sehat dan lestari.
IW