Kebocoran data nasional yang terjadi beberapa bulan lalu telah menimbulkan kemarahan dari berbagai pihak, termasuk Komisi I DPR RI. Insiden ini melibatkan Pusat Data Nasional (PDNS) yang diserang oleh serangan ransomware, menyebabkan kehilangan data yang signifikan.
Pada rapat kerja bersama Komisi I DPR RI, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Hinsa Siburian, mengungkapkan bahwa kebocoran data utama disebabkan oleh tidak adanya back up data. Hanya 2 persen dari data yang tersimpan di PDNS 2 Surabaya yang berhasil di-backup oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) setelah serangan ransomware.
Komisi I DPR RI, yang dipimpin oleh Meutya Hafid, mengecam keras kekurangan ini. Mereka menanyakan berapa persen data yang ter-backup di PDNS 2 Surabaya dan Batam. Hinsa menjawab bahwa hanya 2 persen data yang ter-backup di Surabaya.
Komisi I DPR RI sangat tidak puas dengan jawaban ini. Mereka menekankan bahwa kekurangan ini bukan hanya kecelakaan, tetapi juga kebodohan nasional. “Berarti Anda tak kerja,” ujar Meutya Hafid dalam rapat kerja tersebut.
Presiden Joko Widodo juga telah memerintahkan Kemenkominfo, Kemenkeu, dan BSSN untuk segera mengambil langkah mitigasi. Ia mengatakan bahwa kebocoran data ini juga terjadi di negara lain karena keteledoran password dan penyimpanan data yang berbeda-beda.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sedang melakukan pendalaman terkait kasus kebocoran data NPWP. Pihak DJP mengungkapkan bahwa data NPWP milik sejumlah tokoh penting, termasuk Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, telah bocor dan dijual di forum ilegal.
Insiden ini telah menimbulkan konsekuensi serius. BSSN masih berkoordinasi dengan Polri untuk menyelidiki dugaan kebocoran data INAFIS. Kebocoran data 3 bulan yang lalu ini telah menunjukkan kelemahan dalam sistem keamanan data nasional.