jakarta,arabaru.com – Kebijakan Zero Over Dimension Overload (ODOL) akan sulit untuk diterapkan tanpa adanya pembenahan di berbagai infrastruktur seperti penambahan ruas jalan, meningkatkan jumlah jalan nasional, menaikkan kapasitas daya dukung jalan, dan memperbaiki moda transportasi alternatif. Untuk itu, perlu dibentuknya sebuah Badan setingkat Kementerian yang mengurusi logistik yang akan fokus membuat blueprint atau cetak biru terkait kebijakan Zero ODOL ini.
“Dalam kondisi idealnya, kalau kita memang benar-benar mau menerapkan Zero ODOL ini, pemerintah harus memperbaiki infrastrukturnya terlebih dahulu. Kalau itu tidak diperbaiki, Zero ODOL akan sulit untuk dilaksanakan,” ujar Ian Sudiana, Wakil Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Bidang Angkutan Darat dan Kereta Api baru-baru ini.
Dia mencontohkan hal-hal yang harus menjadi perhatian pemerintah itu adalah seperti penambahan ruas jalan, meningkatkan jumlah jalan nasional, menaikkan kapasitas daya dukung jalan, dan lain-lain. “Itu kan bentuk upaya agar logistik menjadi lebih baik,” tukasnya.
Dia melihat masalah status dan fungsi jalan yang masih carut-marut dan tidak jelas, merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini. Padahal, lanjutnya, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik menuju pelabuhan utama misalnya, truk-truk logistik itu pasti akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional). “Makanya, agar bisa dilewati truk-truk yang berukuran besar, pemerintah perlu meningkatkan jumlah jalan-jalan nasional dan daya dukung jalannya,” tegasnya.
Selain itu, melakukan pembenahan terhadap industri-industri terutama yang tidak berada di kawasan industri. “Nah, itu perlu ada penataan ulang,” katanya.
Tidak hanya itu, menurutnya, infrastruktur transportasinya juga harus dibenahi juga. “Dalam hal ini, infrastruktur kereta api dan laut harus dioptimalkan,” ucapnya.
Moda transportasi kereta api misalnya, belum bisa digunakan untuk pengangkutan barang-barang logistik secara optimal karena masih menerapkan konsep jualan gerbong untuk logistiknya, dan itu perlu dibenahi. “Jadi, mereka bukan jualan servisisnya, tapi jualan space. Artinya, ada booking slot yang kalau dipakai pun harus dibayar di awal,” tandasnya.
Tidak hanya itu, gudang-gudang tempat penyimpanan barang juga belum mampu untuk menampung barang dalam jumlah banyak. “Di stasiun-stasiun besar seperti Jakarta dan Surabaya saja nggak ready. Dari Jakarta sampai Surabaya, baru dua titik yang benar-benar bisa dipakai,” ungkapnya.
Jadi, katanya, untuk bisa digunakan sebagai moda transportasi logistik, kereta api harus mengubah modelnya tidak jualan space tapi jualan services. Selain itu, harus ada penambahan gerbong, rel, dan keretanya juga. “Harus sudah benar-benar fully double track. Lalu, jumlah gerbong keretanya ditambah, pemberangkatannya ditambah,” tukasnya.
Terkait banyaknya permasalahan yang harus dibenahi dalam menerapkan Zero ODOL ini, dia pun mengusulkan agar pemerintahan baru nanti membentuk sebuah Badan Logistik setingkat Kementerian yang akan mengkoordinasi fungsi logistik agar lebih komprehensif, termasuk dalam penerapan Zero ODOL yang win-win solution.
“Setidaknya Badan ini nanti bisa mempersiapkan blueprint-nya terlebih dahulu sebelum menerapkan Zero ODOL ini. Artinya, antara regulator, cargo owner atau principal produsen dan penyedia layanan logistiknya harus satu bahasa dalam mengimplementasikan Zero ODOL ini. Jadi, memang sepertinya butuh proses agar Zero ODOL ini bisa berjalan. Butuh persiapan logistik yang panjang,” katanya.
theo zebua